
L’enfer c’est les autres. Hell is other people. Neraka adalah orang lain. Ini adalah salah satu baris bacaan yang paling terkenang di benak saya ketika mengeksplor lebih dalam terkait konsep filsafat Sartre. Menarik, mengguggah, tapi juga rentan untuk disalahpahami. Lantas, saya pun mencari dan mempelajari lebih dalam terkait pernyataan ini.
Kalimat terkenal tersebut ternyata berasal dari drama eksistentialis 1 babak berjudul “No Exit” atau “Huis Clos” dari filsuf Jean-Paul Sartre. Drama ini dipentaskan pertama kali pada tahun 1944 di salah satu panggung teater di Prancis, menceritakan kehidupan setelah kematian di mana tiga (3) karakter yang telah meninggal dihukum dengan cara dikurung dalam satu ruangan untuk selama-lamanya.
Ketika saya mencaritahu lebih dalam tentang drama ini, saya sadar bahwa terdapat makna filosofis yang sangat kental terkait jalan cerita dan makna tersiratnya. Sebab selama ini, kita mengenal neraka dalam pandangan agama konvensional yang digambarkan dengan api panas dan berbagai siksaan sebagai balasan atas perbuatan kita di dunia. Namun, konsep neraka ala Sartre benar-benar berbeda.
Jean-Paul Sartre adalah seorang filsuf yang ateistik. Dalam drama Huis Clos, ia pun mengatur latar tempat dalam dengan mengangkat konsep neraka melalui versi yang jauh lebih eksistentialis. Bagaimana maksudnya? Jika kamu tertarik, simak artikel ini karena kita akan membahas lebih dalam tentang pemikiran Sartre mengenai “Neraka Adalah Orang Lain” dan bagaimana konsep ini mempengaruhi manusia dalam bermasyarakat.
Pemahaman Dasar tentang Konsep Filsafat Sartre

Jean-Paul Sartre adalah filsuf Prancis yang merupakan salah satu tokoh utama eksistensialisme, sebuah aliran filsafat yang menekankan kebebasan individu dan tanggung jawab manusia dalam menentukan makna hidupnya. Berikut adalah konsep utama dalam filsafat Sartre:
Eksistensi Mendahului Esensi
L’existence précède l’essence. Existence precedes essence. Eksistensi mendahului esensi. Sartre percaya bahwa manusia pertama-tama “ada” (eksis), kemudian menentukan esensinya melalui pilihan dan tindakan. Berbeda dengan pandangan tradisional yang menganggap esensi manusia telah ditentukan sebelumnya (seperti “manusia adalah makhluk sosial”), Sartre menegaskan bahwa kita menciptakan makna hidup kita sendiri.
Kebebasan Total dan Kecemasan (Angst)
Menurut Sartre, manusia memiliki kebebasan mutlak untuk membuat pilihan dalam hidupnya. Namun, kebebasan ini disertai tanggung jawab besar, karena setiap keputusan yang diambil membentuk siapa kita sebagai individu.
Namun, kebebasan yang tanpa batas ini juga menimbulkan kecemasan. “Man is condemned to be free”. Manusia dikutuk untuk bebas; adalah sebuah kutipan terkenal Sartre yang muncul dalam bukunya Being and Nothingness (1943). Sartre percaya bahwa manusia dikutuk untuk bebas karena mereka bertanggung jawab atas segala sesuatu yang mereka lakukan setelah berada di dunia.
Manusia Sebagai “Proyek”
Sartre memandang hidup sebagai proses yang terus menerus untuk menjadi. “Proyek” kita sebagai manusia adalah usaha terus menerus untuk mendefinisikan diri kita dengan membuat pilihan, tujuan, dan mengejarnya. “We are what we strive to be”; kita adalah apa yang kita perjuangkan.
Konsep “Neraka Adalah Orang Lain”
Salah satu konsep terkenal Sartre yang juga menjadi bahasan utama dalam artikel ini adalah L’enfer c’est les autres atau “Neraka adalah orang lain” yang menjadi bahasan utama artikel ini. Konsep berikut terhubung erat dengan gagasannya tentang eksistensi dan kebebasan karena menyajikan refleksi mendalam tentang bagaimana manusia berjuang menjaga autentisitas dan kebebasan dalam kondisi sosial yang kompleks. Mari kita bahas lebih lanjut.
Huis Clos dan Konsep “Neraka Adalah Orang Lain” dalam Perspektif Sartre

Huis Clos (dalam bahasa Inggris: No Exit, dan dalam bahasa Indonesia: Tidak Ada Jalan Keluar) adalah drama karya Jean-Paul Sartre di tahun 1944 yang paling ikonik. Dalam drama ini, Sartre menyampaikan ide-idenya tentang kebebasan, tanggung jawab, dan hubungan antar manusia, dengan menghadirkan setting unik berupa ruang tertutup tanpa jalan keluar— sebuah metafora dari “neraka”.
Hubungan Antara Karakter
Huis Clos sendiri menyajikan tiga karakter, yakni Garcin, Inez, dan Estelle yang sudah meninggal dunia dan terjebak dalam sebuah ruangan tertutup di akhirat. Tidak ada penyiksaan fisik, tetapi interaksi antar karakter menciptakan ketegangan yang mencekam.
Dalam cerita, Garcin Seorang pria yang merasa dirinya pengecut dan terus-menerus mencari validasi dari orang lain, Inez adalah seorang lesbian yang manipulatif dan berambisi untuk mendominasi orang lain, sedangkan Estelle merupakan seorang wanita muda yang dangkal dan hanya peduli dengan penampilan fisik.
Dalam ruangan “neraka” ini, masing-masing karakter berusaha untuk menghindari pengakuan kesalahan dan dosa-dosa mereka selama masa hidup. Namun semakin lama berinteraksi, semakin mereka saling menyalahkan dan berusaha untuk meletakkan kesalahan pada orang lain.
Konflik Antara Karakter dan Konsep Sartre
Dalam cerita ini, masing-masing karakter berusaha untuk membangun identitas diri yang kuat di tengah situasi yang sulit. Konfliknya pun bersifat psikologis dan interpersonal. Dialog-dialog yang tajam dan penuh tegangan menjadi alat utama untuk mengungkapkan konflik batin dan hubungan antar karakter.
Misalnya, hasrat karakter Garcin untuk diakui dan mendapat validasi sangat kuat. Ia mendambakan pengakuan Inez dan Estelle terkait hal-hal tertentu, misalnya untuk meyakinkan dan mendefinisikan bahwa ia bukan pengecut karena pada masa hidupnya ia melarikan diri selama masa perang. Tetapi, baik Inez dan Estelle tidak bisa menuruti permintaan Garcin.
Karakter Inez digambarkan sadistic dan senang menimbulkan rasa sakit psikologis pada Garcin dan Estelle. Karakternya paling rumit dan bisa dibilang paling “disturbing”. Ia memperoleh kesenangan dari menyakiti orang lain dan bersuka ria dalam penderitaan mereka. Ia juga seorang manipulator ulung dan bersenang-senang dalam kepuasan yang menyimpang .
Sedangkan, Estelle adalah wanita egois dan dangkal. Ia pernah membunuh bayi sebagai hasil anak haramnya selama hidup. Eksistensi Estelle nyaris tidak memiliki makna apapun. Ia hanya narcissistic, digambarkan terobsesi dengan penampilannya dan kekaguman orang lain sehingga terus-menerus mencari validasi terutama dari Garcin.
Konflik dalam permainan drama dari Sartre ini memang sangat eksistential. Misalnya, saya membaca beberapa bagian yang diucapkan oleh Garcin, dimana bagian ini menunjukkan ketergantungan ia terhadap validasi eksternal atau persepsi orang lain akan dirinya sendiri:
Garcin: “A thousand of them are proclaiming I am a coward, but what do numbers matter? If there is someone, just one person, to say quite positively that I did not run away, that I am not the sort who runs away, that I am brave and decent and the rest-well, that one person’s faith would save me.”
Garcin: “Estelle, am I a coward?”
Estelle: “How can I say? Don’t be so unreasonable, darling. I can not put myself in your skin. You must decide that for yourself.”
Garcin: “I can not decide”
Menurut pemahaman saya akan eksistensialisme Sartre, perilaku dan pernyataan dari Garcin sangat salah karena ia menyerahkan definisi dirinya kepada orang lain. Dalam pandangan Sartre, nilai kita sebagai manusia tidak dapat diselamatkan atau ditentukan oleh keyakinan pihak lain. Sebaliknya, kita harus berani menerima kebebasan dan tanggung jawab untuk menentukan makna hidup atau dirinya sendiri.
Konflik antara Garcin, Inez, dan Estelle kemudian terus berkembang seiring berjalannya cerita dan tidak ada resolusi yang pasti. Sampai ke bagian akhir, ketiga karakter pun terjerumus ke dalam siklus siksaan dan keputusasaan tanpa henti. Upaya awal mereka untuk berusaha mendamaikan diri dengan situasi dan menemukan pelipur lara dalam diri satu sama lain justru runtuh dengan cepat.
Drama ini kemudian berpuncak dengan kalimat terkenal yang disebutkan Garcin, “Neraka adalah orang lain!” Akhir dari drama ini pun tidak menawarkan jalan keluar, tidak ada penebusan, dan tidak ada harapan untuk keselamatan. Sebaliknya, drama ini menjadi ‘media’ bagi Sartre untuk menyajikan gambaran mengerikan tentang kondisi manusia yang ‘dikutuk’ untuk menghadapi kebebasan, menentukan nasib sendiri, bertanggungjawab dengan hidup, dan tidak membiarkan orang lain mendefinisikan identitas kita.
Memaknai “Neraka Orang Lain” Menurut Filsafat Sartre

Garcin: “So this is hell. I’d never have believed it. You remember all we were told about the torture chambers, the fire and brimstone, the “burning marl.” Old wives’ tales! There’s no need for red-hot pokers. Hell is.. Hell is other people!”
Kata-kata di atas merupakan versi yang lebih spesifik dari apa diucapkan oleh karakter Garcin di bagian akhir drama Huis Clos. Goosebumps.
Lantas dapat kita pahami bahwa menurut filsafat Sartre, neraka bukanlah tentang lubang api, siksaan, atau rasa sakit fisik. Namun, neraka adalah tentang siksaan psikologis dan eksistensial yang muncul dari interaksi sesama manusia, kehausan manusia untuk mendapatkan validasi/pengakuan, dan hilangnya identitas manusia selagi ia menghadapi ekspetasi atau tekanan dari orang lain.
Namun, kutipan “Neraka adalah orang lain” juga sering disalahpahami sebagai ungkapan bahwa orang lain = jahat. Atau, saya melihat beberapa orang juga meresap konsep ini sebagai pernyataan suram, pesimis, hingga misantropis. Namun menurut saya, makna sesungguhnya dari konsep ini tidak semutlak dan sedangkal itu.
Kenyataannya, konsep ini justru menyoroti tentang bagaimana orang lain dan hal-hal eksternal sering mencoba mendefinisikan kita dan menciptakan identitas bagi kita. Namun pada akhirnya, kita harus bertanggung jawab untuk membentuk identitas kita sendiri melalui pilihan yang bisa kita lakukan. Well, that’s basically the point of Sartrean existentialism, right?
Secara personal, konsep “Neraka Adalah Orang Lain” rasanya juga sangat ‘menggema’ bagi diri saya sendiri. Di satu sisi, perasaan ini kemungkinan besar karena saya memang cenderung skeptis terhadap orang lain. Di sisi lain, kemungkinan juga karena saya sangat suka dengan makna filosofis yang disiratkan Sartre melalui konsep ini.
Apa yang orang lain ketahui tentang kita? Power apa yang mereka miliki atas kita? Hampir tidak ada. Maka dari itu, jangan pernah kehilangan jati diri dan esensi dari eksistensi kita sendiri hanya karena harus menyesuaikan diri dengan standar atau ekspektasi dari orang lain. Do not betray and destroy yourself for nothing, for it is the worst sin a human can ever do.
Kalau kita terus hanyut menggantungkan harga diri dan definisi diri kita pada pihak eksternal layaknya orang lain, maka saat itulah orang lain akan menjadi neraka yang menyiksa batin kita. Kita akan terus hidup dengan merasa terperangkap dalam persepsi mereka dan pada akhirnya kehilangan kebebasan untuk menentukan siapa diri kita sebenarnya. I would not do this to myself.
Namun, penting juga untuk memastikan segala sesuatu untuk dilakukan sebatasnya. Perlu disadari juga bahwa menghindari interaksi dengan orang lain sepenuhnya tidak mungkin dapat terjadi. Kita hidup di dunia bersama dan hubungan dengan orang lain tetap penting. Kuncinya adalah menjaga keseimbangan- menghargai hubungan sosial tanpa kehilangan jati diri dan tetap berani hidup sesuai dengan pilihan kita sendiri.
Menarik bagaimana Sartre mengingatkan kita akan kompleksitas hubungan antarmanusia, bukan? Kalau kamu tertarik untuk mengeksplorasi lebih jauh pemikiran Sartre dan filsafat lainnya, jangan ragu untuk menjelajahi artikel lainnya di Filsastra. Temukan perspektif baru, terus belajar, dan mari tetap berkembang berama. Keep reading, thinking, and understanding.