Konsep Apollo Dionysus dalam ‘The Birth of Tragedy’ Nietzsche

<p>
  <img fetchpriority=

Pernah merasa seperti ada dua sisi yang saling bertentangan di dalam diri? Satu sisi rasanya mendambakan ketenangan penuh kontrol dan stabilitas, namun satu lagi justru haus akan kekacauan dan kebebasan. Perang batin saling tarik menarik dan terkadang cukup membingungkan. Saya pribadi juga sering merasakannya dan berpikir, apa yang sebenarnya kita inginkan?

Dalam filsafat, filsuf asal Jerman Friedrich Nietzsche menggambarkan konflik batin ini dengan cara yang puitis sekaligus brutal melalui konsep Apollo dan Dionysus dari Yunani Kuno. Konsep ini diperkenalkan dalam bukunya ‘The Birth of Tragedy’ atau ‘Lahirnya Tragedi’ sebagai dua kekuatan fundamental yang membentuk seni dan eksistensi manusia.

Menurut Nietzsche, dualitas ini merupakan inti dari pengalaman ‘menjadi manusia’. Keduanya tidak berdiri sendiri. Justru, keindahan sejati dalam seni dan kehidupan muncul ketika keduanya bertemu, berdialog, atau bahkan saling bertabrakan. Nietzsche percaya bahwa tragedi Yunani mencapai puncaknya justru karena keberanian menyatukan keduanya dan bukan memisahkan.

Maka, pertanyaan yang sebenarnya bukan tentang memilih salah satu atau memilih ‘mana yang sebenarnya kita inginkan?’ Apa menjadi Apollonian yang tenang atau Dionysian yang liar? Yang justru harus dilakukan adalah bagaimana kita berdamai dengan dua kontradiksi itu sendiri. Membiarkan dua sisi ini hidup berdampingan dalam diri layaknya langit yang bisa cerah dan gelap dalam satu waktu.

I say unto you: one must still have chaos in oneself to be able to give birth to a dancing star.  I say unto you: you still have chaos in yourselves.

Artikel ini akan membawamu menyelami bagaimana Nietzsche melihat mitologi (tragedi Yunani Kuno), bagaimana kita bisa menafsirkan dualitas tadi, dan bagaimana kita (sebagai manusia modern) menarik pelajaran sekaligus terus bergulat di dalam arus Apollo dan Dionysus yang tak akan pernah usai.

Nietzsche tentang Tragedi Yunani Kuno

<p>
  <img decoding=

Nietzsche melihat tragedi Yunani bukan sebagai ‘sekadar hiburan’, melainkan sebagai bentuk seni paling jujur dalam menggambarkan kondisi manusia. Dalam The Birth of Tragedy, ia menyampaikan bahwa tragedi yang sejati lahir dari ketegangan antara dua kekuatan yakni Apollonian dan Dionysian. Untuk memahami pandangannya, kita bisa membaginya dalam dua fase: kelahiran dan kematian tragedi.

Kelahiran Tragedi

Menurut Nietzsche, tragedi Yunani awal layaknya karya Aeschylus dan Sophocles mencapai puncak estetika karena mampu menyatukan dua kutub: Apollo dan Dionysus. Secara garis besar, Apollonian yang diwakili oleh dewa Apollo berwujud keteraturan dan akal sehat. Sedangkan Dionysian yang diwakili oleh dewa Dionysus berwujud kekacauan dan gairah.

Dionysus dapat dilihat mewakili sisi gelap manusia yang penuh hasrat, kekacauan, ekstasi, penderitaan. Unsur ini tampak dalam paduan suara, musik, dan suasana magis yang membawa penonton larut dalam realitas yang ‘mentah’ dan emosional.

Namun energi liar ini tidak dibiarkan begitu saja. Di situlah peran Apollo sebagai unsur keteraturan menjadi penting. Apollo memberi struktur pada kekacauan Dionysian melalui narasi, tokoh, dan dialog yang teratur. Tragedi pun menjadi tempat di mana penderitaan diolah menjadi sesuatu yang bisa direnungkan dan dikagumi.

Dari sini, Nietzsche percaya bahwa tragedi Yunani dalam karya Aeschylus dan Sophocles berhasil mengintegrasikan kekuatan-kekuatan yang berlawanan ini untuk menciptakan seni yang kuat dan bermakna.

Kematian Tragedi

Sayangnya, keseimbangan antara Apollo-Dionysus perlahan runtuh. Sejak zaman Socrates, Nietzsche mengklaim bahwa budaya Barat pada umumnya terlalu bias terhadap ‘Apollonian’ (keteraturan dan rasionalitas) daripada ‘Dionysian’ (kekacauan dan vitalitas). Hal ini sangat merugikan seni, kebenaran, dan jiwa manusia!

Nietzsche juga menyebut tokoh seperti Euripides (penulis drama hebat di Athena Klasik) sebagai penyebab dari “kematian tragedi” (ia menyebutnya sebagai “murderer of tragedy”). Euripides, yang terpengaruh oleh filsafat Socrates, dinilai membawa terlalu banyak rasionalisme ke dalam drama. Karakter-karakter menjadi lebih logis dan alur cerita semakin realistis.

Nietzsche menilai pendekatan ini menghilangkan unsur Dionysian yang sebenarnya sangat penting. Tidak ada lagi emosi mentah yang ‘mentah’ dari manusia, di mana hal ini sangat kontras dengan para penulis tragedi Yunani sebelumnya.

Dalam pandangan Nietzsche, Socrates sendiri adalah simbol dari “manusia teoritis” (The “Theoretical Man”) yang percaya bahwa segala hal bisa dijelaskan dengan logika. Inilah yang, menurutnya, justru merusak inti dari tragedi sejati. Hilang atau disisihkannya unsur Dionysus berarti berlari dari kompleksitas dan penderitaan hidup yang hakiki.

Konsep Apollo Dionysus Nietzsche Secara Lebih Detail

<p>
  <img loading=

Nietzsche menggunakan dua sosok dewa Yunani, Apollo dan Dionysus, sebagai simbol untuk menjelaskan dua kekuatan besar dalam seni, hidup, dan eksistensi manusia. Bagi Nietzsche, kehidupan yang utuh tidak mungkin hanya berdiri di satu sisi saja. Konsep ini merupakan metafora mitologis sekaligus refleksi mendalam tentang bagaimana manusia merespons dunia.

Apollonian: Keindahan, Keteraturan, dan Identitas

Konsep Apollonian mencerminkan sisi terang dalam diri manusia. Semua tentang keteraturan, harmoni, dan kejelasan. Apollo adalah energi yang menciptakan batas, logika, dan struktur.

  • Dalam seni, Apollonian bisa tampak dalam patung, arsitektur, dan puisi epik. Semua yang punya bentuk jelas, harmoni visual, dan cerita yang tertata.
  • Dalam kehidupan, ini adalah sisi kita (manusia) yang ingin merasa aman, memahami dunia, dan menjaga kendali. Ia memberi kita rasa individualitas; “aku” sebagai entitas yang utuh dan berbeda dari yang lain.

Apollonian juga berkaitan dengan sesuatu yang disebut principium individuationis, yaitu suatu prinsip individualitas yang membuat kita merasa sebagai individu yang utuh dan terpisah dari orang lain dan dunia di sekitar kita. Prinsip ini menciptakan ilusi yang indah dan tertib yang membantu kita bertahan dari realitas yang seringkali membingungkan.

Principium individuationis menciptakan gambaran hidup yang teratur, indah, dan masuk akal. Dengan prinsip ini, kita akan merasa punya identitas yang jelas, batas yang aman, dan dunia yang bisa dipahami. Tanpa prinsip ini, kita bisa merasa kewalahan menghadapi hidup yang kompleks dan tak terduga.

Dionysian: Kekacauan, Emosi, dan Rasa Menyatu

Berbeda dan bertentangan dari Apollo, Dionysus adalah sisi yang lebih bebas dan mengalir liar. Hal-hal Dionysian berkaitan dengan emosi tak terbendung, ekstasi, dan hilangnya batas diri manusia. Ini adalah sisi kita yang ingin meledak, melampaui logika, dan merasakan ‘keterhubungan total’ dengan kehidupan.

  • Dalam seni, Dionysian bisa memiliki representasi dalam musik, tarian, dan ritual. Ia bersifat membebaskan, membuat kita lupa diri, dan menyatu dalam energi kolektif.
  • Dalam kehidupan, Dionysian terkait dengan hasrat, intuisi, dan keberanian untuk menghadapi absurditas dan penderitaan hidup secara langsung tanpa ilusi.

Sebalik dengan principium individuationis pada Apollonian, konsep Dionysian Nietzsche memiliki satu elemen penting yakni Rausch; istilah dalam bahasa Jerman yang merujuk pada keadaan ekstasi, mabuk emosional, atau kegembiraan yang mengalir begitu kuat hingga seseorang kehilangan batas dirinya.

Rausch adalah kondisi ekstatik atau mabuk eksistensial, di mana kita seolah menjadi satu dengan dunia dan menyentuh keinginan terdalam dari “kehendak untuk hidup” (will to live). Dalam keadaan ini, seseorang bisa merasa benar-benar menyatu dengan dunia, melebur dalam arus kehidupan yang liar dan tak terkontrol.

Nietzsche memandang Rausch sebagai penangkal nihilisme. Ketika hidup terasa tak bermakna, pengalaman Dionysian melalui Rausch memungkinkan kita untuk merasakan intensitas hidup, menembus batas ego, dan membiarkan diri larut dalam kekacauan yang membebaskan. Rausch adalah bentuk kegembiraan yang muncul dari keberanian menghadapi kenyataan secara utuh.

Seni dan Hidup: Ketika Apollonian dan Dionysian Bertemu

<p>
  <img loading=

Menurut Nietzsche, pertemuan antara Apollonian dan Dionysian adalah puncak tertinggi dalam seni dan bahkan dalam hidup itu sendiri. Keduanya sangat berbeda dan bertolak belakang. Tapi justru karena perbedaan yang kontras ini, muncul sesuatu yang lebih kaya, manusiawi, dan kuat saat mereka saling tarik menarik.

Apollonian memberi kita bentuk, kejelasan, dan rasa aman. Menghidupi prinsip Apollo memang tampak tertib dan indah di permukaan. Namun, jika hidup hanya dipenuhi unsur ini, semuanya akan terasa kaku, tak bermakna, dan pada dasarnya ‘kurang hidup’. Semua terasa seolah kita hanya menjalani peran dalam cerita yang sudah ditentukan.

Sebaliknya, Dionysian membawa kita pada pengalaman yang penuh emosi dan mengguncang. Menjalani hidup dengan prinsip Dionysian akan terasa penuh semangat, gairah, dan hasrat. Tapi, jika hidup hanya dikendalikan oleh Dionysian, segala hal bisa terasa begitu intens. Layaknya terus-menerus terombang-ambing dalam gelombang emosi dan kekacauan tanpa arah.

Itulah sebabnya kita tidak bisa hanya menjadi salah satu saja. Sebagai manusia, kita tidak bisa hanya menjadi rasional atau hanya emosional. Manusia secara alami memiliki keduanya. Justru dengan menerima dan menghidupi keduanya secara bersamaan, kita bisa menjalani hidup yang lebih utuh, otentik, dan bermakna.

Apa yang Bisa Kita Pelajari Dari Dualitas Ini?

Secara tematik dan fundamental dari The Birth of Tragedy, contoh paling indah dari perpaduan dualitas Apollo dan Dionysus dalam tragedi Yunani yang sudah kita bahas. Tragedi seperti karya Aeschylus dan Sophocles merupakan seni sekaligus representasi cara manusia menghadapi kenyataan hidup yang keras tanpa harus terpuruk dalam keputusasaan.

Tokoh utama dalam tragedi Yunani sering kali berjuang melawan sesuatu yang di luar kendali. Ia mencoba memahami dunia tapi tak pernah benar-benar bisa mengaturnya. Di sinilah kita sebagai penonton merasa ‘terhubung’, karena kita semua juga pernah merasa seperti itu: berusaha keras, tapi tetap tak bisa mengendalikan hidup sepenuhnya.


The tragic hero in the story never has control over his fate. His struggle is a hymn to the absurd, for it is a must.

And through him, we glimpse the truth:  that all human life is destined to suffer; and all humans ought to affirm that fate.


Nietzsche percaya bahwa tragedi menghadirkan kebenaran yang lebih dalam daripada sains atau pengetahuan rasional. Bukan berarti sains tidak penting, namun sains sering kali hanya memberikan ilusi bahwa segala hal bisa dijelaskan dan dikendalikan. 

Cara berpikir Socrates yang menekankan bahwa manusia menjadi utuh melalui akal dan logika telah begitu melekat dalam budaya kita, sampai-sampai kita lupa mempertanyakan: benarkah kebenaran itu hanya bisa ditemukan melalui rasionalitas?

Nietzsche menolak pandangan itu melalui The Birth of Tragedy. Ia melihat bahwa ketika manusia hanya berpegang pada logika dan menjauh dari sisi Dionysian dalam dirinya, maka yang terjadi adalah kehampaan. Keringnya jiwa dan esensi manusia itu sendiri. 

Menolak sisi Dionysian berarti menolak bagian penting dari kemanusiaan. Kita akan kehilangan sumber terdalam dari kreativitas dan seni; emosi, naluri, ekstasi, dan keberanian untuk menyentuh kegelapan yang ada dalam diri.

Baik seni maupun hidup harus mampu merangkul kekuatan Apollonian dan Dionysian secara bersamaan. Bukan dengan mencari titik tengah yang netral dan statis, tapi dengan menerima tarik-ulur yang terus-menerus antara keduanya. 

Dalam diri Apollo yang menjunjung kontrol dan ketertiban, pasti juga tersembunyi luka dan kerapuhan Dionysian yang tak bisa dihapus begitu saja. Di balik control dan rasionalitas, ada keharusan untuk menemukan lapisan penderitaan yang diam-diam menjadi fondasi eksistensi manusia.


His [the Apollonian Greek’s] entire existence, with all its beauty and moderation, rested on a hidden ground of suffering and knowledge.


Apollo dan Dionysus saling membutuhkan. Seperti tarikan napas dan setiap hembusannya, hidup akan selalu bergerak di antara kedua sisi ini. Terkadang Apollo harus menang, terkadang Dionysus, dan keduanya terus bergulat dalam diri kita. Accept both to create the highest art and to have the purest truth.

Melalui The Birth of Tragedy, Nietzsche menantang kita untuk tidak hanya hidup dalam ilusi keteraturan, tetapi juga berani menari di ambang kekacauan. Why? It’s clear already. Karena di sanalah letak kejujuran dan kemungkinan untuk menjadi utuh sebagai manusia.

Kalau kamu tertarik mendalami ide-ide di persimpangan filsafat, sastra, dan kehidupan semacam ini, pastikan untuk kunjungi Filsastra dan temukan lebih banyak lagi informasi baru untuk membuka wawasan, mempertajam pemikiran, dan memahami hidup dengan cara yang lebih dalam.

Keep reading, thinking, and understanding.

Author

  • Zara

    A lifelong learner of philosophy, literature, and the humanities.

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Scroll to Top