Sastra Eksistentialisme dari Kafka, Dostoevsky, hingga Camus

<p>
  <img fetchpriority=

Pengalaman pertama saya mengenal sastra eksistensialisme dimulai lewat dua novel: The Trial dan The Metamorphosis karya Franz Kafka sewaktu SMA (sekitar tahun 2017). Di umur kala itu, saya masih terlalu muda dan naif untuk bahkan tahu apa itu definisi eksistentialisme. Satu-satunya alasan saya membeli dua novel tersebut adalah rasa tertarik pada sinopsis cerita yang tertulis di bagian belakang sampul buku.

Saya ingat bahwa novel yang saya baca terlebih dahulu adalah The Trial. Sewaktu pertama membaca jalan ceritanya, pun, saya mengerutkan kening berkali-kali untuk setiap halaman baru yang terbuka. Bukan karena bingung, tidak paham, dan langsung ingin berhenti membaca. Tapi karena bingung, tertarik, penasaran, ingin tahu lebih lanjut, dan berusaha merasionalisasi cerita tersebut. I was intrigued

Setelah menyelesaikan The Trial, saya langsung lanjut membaca The Metamorphosis. Awalnya takut merasa lebih bingung dan pusing sendiri. Lho, tapi kok malah terasa semakin bagus? Kok semakin menarik? Well..bingo, that was my indirect introduction to existentialism. Wajib diakui bahwa dua karya legendaris Kafka ini rasanya seperti ‘pintu’ pertama yang saya ‘buka’ sebelum masuk ke dalam ketertarikan kuat terhadap novel sastra klasik. 

Walaupun baik The Trial maupun The Metamorphosis terbilang cukup berat dan rumit untuk remaja SMA di waktu itu, dua novel ini pada akhirnya menjadi titik awal yang memicu tendensi dalam pikiran saya untuk sering memunculkan berbagai pertanyaan tentang eksistensi manusia dan absurditas hidup. Layaknya ‘katalis’ bagi eksplorasi saya terhadap tema-tema eksistensial (yang semakin saya eksplor bertahun-tahun kemudian setelah lulus kuliah).

Setelah saya menamatkan kuliah dan memiliki lebih banyak waktu untuk mempelajari filsafat, saya kemudian lebih sadar dan mampu menghubungkan pola-pola bahwa dua novel Kafka yang dulu saya baca ternyata sangat kental dengan tema eksistensialisme. Rasa penasaran yang dulu saya rasakan lantas berkembang menjadi keinginan untuk lebih memahami pemikiran eksistensial yang ada dalam karya-karya sastra klasik lainnya. The ‘seed’ of being an existentialist has always been inside myself.

Menurut saya, banyak sekali karya sastra klasik (terutama dari Barat) yang meski sudah ditulis ratusan tahun lalu, tetapi terkesan tetap relevan dan menggugah hingga kini. Walaupun memiliki kesan rumit dan kuno, tetapi buktinya masih layak untuk dipelajari sampai sekarang. Nah.. kalau kamu juga tertarik pada hal yang sama simak terus artikel ini untuk mengeksplorasi sastra eksistensialisme, contoh karya dan penulisnya, serta pemaknaannya. Let’s dig in!

Menjembatani Eksistensialisme dan Sastra

To be oversimplified, eksistensialisme merupakan aliran filsafat yang berfokus pada kebebasan individu, absurditas kehidupan, dan pencarian makna di tengah kekosongan atau permasalahan hidup lainnya. Gagasan ini kemudian mampu membentuk representasi nyatanya dalam sastra. 

Lantas, apa itu sastra? Dalam pengertian yang paling sederhana, sastra adalah seni dalam bentuk bahasa. Bentuknya bisa berupa puisi, novel, drama, cerpen, dan lain-lain. Namun, sastra bukan hanya sekadar kumpulan kata-kata atau tulisan, tetapi juga merupakan cerminan dari kehidupan, pemikiran, perasaan, dan pengalaman manusia.

Ketika dua hal ini digabungkan sebagai sastra eksistensialisme, maka pengertiannya dapat dipahami sebagai karya sastra yang menggambarkan atau mengungkapkan tema-tema fundamental eksistensialisme. Misalnya, penyorotan konflik batin manusia dalam menghadapi kenyataan hidup yang penuh ketidakpastian, kekosongan, atau rasa kesepian.

Dalam sastra eksistensialisme, tokoh-tokoh utamanya sering digambarkan sebagai individu yang mencari makna hidup mereka di tengah-tengah dunia yang tidak mampu memberikan jawaban pasti. Mereka berhadapan dengan absurditas atau ketidakpastian, serta dilema dalam menentukan pilihan dan bertanggung jawab atas keputusan yang diambil. 

Rasanya, sastra merupakan salah satu medium yang paling efektif untuk menyampaikan gagasan-gagasan eksistensialisme karena sifatnya yang personal dan reflektif. Melalui karyanya, banyak sastrawan yang mampu menyampaikan gagasan abstrak eksistentialisme melalui pengalaman emosional dan psikologis karakter. Melalui alur cerita dan konflik yang dihadirkan, konsep eksistentialisme pun terasa lebih relatable dan mudah dimengerti.

Penulis dan Karya Sastra Eksistensialisme

Terdapat cukup banyak penulis dan karya sastra eksistentialisme yang berhasil menggambarkan kegelisahan manusia dalam menghadapi absurditas, isolasi, dan pencarian makna hidup. Melalui karya-karya ini, pun, ide-ide eksistensialisme menjadi lebih hidup dan dapat dirasakan pembaca. Namun, berikut adalah beberapa penulis sastra eksistentialis paling berpengaruh:

Franz Kafka: The Trial dan The Metamorphosis

Franz Kafka tidak pernah secara eksplisit mengidentifikasi atau memanggil dirinya sebagai eksistensialis. Namun, tak dapat dipungkiri bahwa ia telah menciptakan karya-karya sastra yang menggambarkan dan mengeksplor tema-tema eksistensial dengan sangat kuat.

Misalnya dalam The Metamorphosis, tokoh utama Gregor Samsa diceritakan tiba-tiba berubah menjadi serangga dan mengalami keterasingan baik dari keluarganya maupun dari dirinya sendiri. Tema keterasingan ini juga terasa kental dalam The Trial, di mana tokoh utama, Josef K, ditangkap tanpa alasan dan harus menghadapi sistem hukum yang tidak masuk akal

Sebagai penulis pertama yang memicu ketertarikan saya pada eksistentialisme dan sastra klasik, menurut saya tulisan Kafka memang mampu menggambarkan absurditas kehidupan dan eksistensi melalui situasi yang tidak logis dan disturbing. Karya Kafka layaknya ‘juara’ dalam menciptakan rasa ketidakberdayaan di tengah dunia yang membingungkan.

Fyodor Dostoevsky: Crime and Punishment dan The Brothers Karamazov

Fyodor Dostoevsky rasanya dapat dikatakan sebagai salah satu pelopor sastra eksistensialisme yang gencar mengeksplorasi kompleksitas moral dan psikologis manusia dalam karya-karya terkenalnya. Meskipun ia jarang dianggap langsung sebagai “pendiri” eksistensialisme, Dostoevsky memengaruhi perkembangan pemikiran eksistensialis dengan cukup signifikan!

Saya pribadi sangat menyukai karya dan penulisan Dostoevsky. Ia gemar mendalami kompleksitas jiwa manusia dan mengeksplorasi tema-tema seperti keterasingan, rasa bersalah, kebebasan, dan pencarian makna. Tokoh-tokohnya selalu bergulat dengan dilema moral, siksaan psikologis, dan konsekuensi atas pilihan hidup mereka. Very existentialist.. very much of my taste.

Karya sastra eksistentialisme dari Dostoevsky yang paling terkenal pastinya adalah Crime and Punishment, di mana tokoh utama Raskolnikov berjuang dengan rasa bersalah setelah melakukan pembunuhan. Novel ini mengangkat tema kebebasan manusia dan dilemma atau tanggung jawab moral. Selain itu, karya terkenal lainnya seperti The Brothers Karamazov dan Notes from Underground juga terasa sangat eksistentialis. 

Cerita The Brothers Karamazov sendiri menyajikan narasi rumit tentang pertanyaan-pertanyaan moral dan filosofis yang kompleks serta eksplorasi tema-tema terkait iman, free-will, dan hakikat baik dan jahat. Sedangkan, Notes from Underground datang dengan tema perjuangan psikologis dan filosofis seorang narator anonim yang memberontak terhadap akal sehat dan logika.

Albert Camus: The Stranger dan The Plague

Albert Camus merupakan salah satu tokoh eksistensialis paling penting, meskipun ia sendiri cenderung menjauhkan diri dari label tersebut. Camus juga merupakan ‘bapak’ dari perkembangan filsafat absurdisme, yakni aliran filsafat yang seringkali dianggap sebagai cabang baru dari eksistensialisme.

Camus juga salah satu filsuf-sekaligus-penulis favorit saya. Dalam karyanya yang paling terkenal yakni The Stranger, Camus menceritakan kisah Meursault, seorang tokoh protagonis acuh yang dijatuhi hukuman mati karena sebuah tindakan yang tampaknya tidak berarti. Novel ini mengeksplorasi tema-tema keterasingan, ketidakberartian hidup, dan pencarian makna di dunia yang terasa ‘absurd’ serta irrasional. 

Camus memang kerap menekankan pentingnya menerima absurditas kehidupan dan tetap hidup dengan penuh keberanian melalui tulisan-tulisannya, seperti yang bisa kita pelajari juga dalam The Plague. Novel ini menceritakan wabah yang melanda Oran di Aljazair. Wabah itu sendiri merupakan simbol ketidakpastian dan ketidakadilan hidup yang seringkali terasa tidak rasional dan kejam bagi manusia. Setiap karakter dalam novel ini juga dihadapkan pada pilihan-pilihan sulit dan harus bertanggung jawab atas tindakan mereka.

Bagi saya, sastra eksistensialisme karya para penulis ini tidak hanya medium hiburan saja, tetapi juga inspirasi dan bahan untuk refleksi. Melalui karakter yang relatable serta dimanusiakan dan narasi yang mengguggah, saya bisa memahami eksistentialisme lebih dalam melalui sastra yang bersifat fiksi. Membaca karya Kafka, Dostoevsky, atau Camus rasanya sangat ‘menolong’ untuk memahami dilema dan kegelisahan yang sering kita rasakan dalam kehidupan sehari-hari!

Pemaknaan dan Relevansi Sastra Eksistensialisme

<p>
  <img loading=

Menurut saya (lagi), karya-karya sastra eksistensialisme jauh lebih bermanfaat dalam mengubah pola pikir dibandingkan buku-buku self-improvement modern. Yes, I said what I said. Lantas, saya selalu menguatkan argumen bahwa sastra eksistentialisme masih relevan (dan akan terus relevan) karena fokus serta konflik utamanya terkait erat dengan keberadaan manusia.

Membaca The Metamorphosis, Crime and Punishment, atau The Stranger membuat saya merasa jauh lebih dimengerti karena karya-karya sastra ini menawarkan ruang berpikir tersendiri untuk memahami perasaan dilema, kegelisahan, dan kekhawatiran akan makna hidup yang tak lekang oleh waktu. Menurut saya, masalah seperti ini merupakan masalah yang kita semua rasakan, bukan? Walau setiap manusia pasti memiliki konteks dan intensitas yang berbeda.

Meskipun ditulis puluhan atau bahkan ratusan tahun lalu, pun, konflik dalam sastra eksistensialisme juga bersifat abstrak dan universal. Tema-tema seperti alienasi, absurditas, kebebasan, dan pencarian makna tidak akan pernah terikat oleh waktu. Karakter seperti Gregor Samsa, Raskolnikov, atau Meursault menghadapi dilema yang tetap relevan dengan pertanyaan besar yang kerap kita hadapi: Apa tujuan dan makna hidup ini? Apa arti kebebasan?

Sastra eksistensialisme juga memiliki nilai artistik yang luar biasa, memberikan apresiasi lebih pada seni sekaligus dapat dijadikan sebagai coping mechanism. Membaca kisah-kisah ini memberi saya perasaan ‘tidak sendiri’. Lebih dari itu, karya-karya ini juga membantu mengembangkan resilience dengan menunjukkan bahwa meskipun hidup absurd dan penuh tantangan, tetap ada makna yang bisa kita buat dalam setiap konflik dan permasalahaan.

Ah, saya sudah menulis terlalu banyak! Mengutip Dostoevsky (lagi): “I know I describe splendidly, but, excuse me, I don’t know how else to do it”. Saya hanya terlalu menyukai sastra eksistentialisme. Menurut saya, sastra ini seharusnya mendapatkan lebih banyak perhatian dan apresiasi dari masyarakat modern. Trust me, karya-karya ini mampu memberikan kita perspektif yang lebih mendalam tentang keberadaan manusia dan konflik eksistential lain.

Pada pengalaman saya, mengenal sastra eksistensialisme berarti membuka ruang untuk refleksi yang lebih dalam dan cara pandang yang lebih bijaksana terhadap kehidupan. Eksistensi dari karya-karya ini tidak hanya membantu saya untuk lebih merangkul sisi-sisi gelap kehidupan, tetapi juga menemukan harapan dan makna di tengah ketidakrasionalan hidup! Oh, how nice it is to feel less alone.

Kalau kamu setuju dengan yang saya tulis dan tertarik mendalami pemikiran semacam ini, kamu tentu bisa eksplorasi lebih lanjut di platform Filsastra. Laman artikel adalah tempat saya membagikan tulisan pribadi dan membahas keterkaitan antara filsafat dan sastra secara mendalam. Jangan lupa untuk mengunjungi dan temukan beragam pengetahuan baru untuk lebih banyak refleksi dan pemikiran kritis. Keep reading, thinking, and understanding!

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Scroll to Top