Akhir-akhir ini, saya rasanya kerap mengalami yang namanya ‘female rage’. Baik itu di sosial media, lingkungan nyata, atau bahkan di lingkar orang-orang terdekat saya sendiri, ternyata definisi feminisme masih sangat teramat disalahpahami dan dikonotasikan dengan makna negatif yang keliru di segala aspek.
Ketika saya bertanya dengan beberapa orang, sebuah pertanyaan yang sebenarnya sangat simpel, yakni “memangnya apa itu feminisme?” kebanyakan mereka justru malah mendefinisikan misandri. Terutama para laki-laki yang (sayangnya) rentan mengasosiasikan feminisme dengan miskonsepsi seperti radikal, anarkis, cringe, SJW, dan masih banyak lagi.
Yang lebih ironis, saya juga menemukan beberapa perempuan yang memiliki internalized misogyny. Ketika saya bertanya “apakah kamu feminis?” atau “apakah kamu mendukung feminisme / kesetaraan gender?”, beberapa di antara mereka menyeringai dan menjawab “Bukan!” karena takut dianggap cringe.
Mengapa masih ada yang merasa malu untuk menyebutkan diri mereka feminis? Mengapa feminisme masih dipandang sebelah mata oleh sebagian orang, bahkan oleh perempuan itu sendiri? Ya, jawabannya terletak pada ketidaktahuan dan stigma yang terus berkembang.
Masalahnya juga berakar pada sikap apatis dan tidak adanya rasa penasaran untuk mencari tahu lebih dalam. Makanya, jika kamu membaca tulisan artikel ini dan justru menjadi semakin tertarik untuk mengetahui lebih dalam, you have done the right thing.
Jangan biarkan ketidaktahuan terus menguasai; ayo lebih banyak belajar dan tingkatkan kesadaran bahwa feminisme dapat didukung dan disuarakan oleh semua orang dengan jenis kelamin apapun. Ayo pahami lebih dalam tentang apa itu feminisme melalui artikel ini!
Sebenarnya, Apa itu Feminisme?
Jika harus disimplifikasi, definisi feminisme dapat dipahami sebagai gerakan sosial-intelektual yang bertujuan untuk mencapai kesetaraan gender. Feminisme muncul dan berusaha untuk menghapus diskriminasi dan ketidakadilan yang dialami oleh perempuan dalam berbagai aspek.
Namun, ketika berbicara soal ‘kesetaraan’, perlu dipahami bahwa feminisme bukanlah upaya untuk membuat perempuan setara dengan laki-laki dalam hal fisik atau biologis. Sebaliknya, feminisme adalah gerakan sosial dan intelektual yang berfokus pada pencapaian kesetaraan gender dalam berbagai aspek kehidupan seperti politik, ekonomi, sosial, dan budaya.
Feminisme bukan tentang menginginkan perempuan menjadi setara dan dianggap identik 100% dengan laki-laki. Feminisme lebih memastikan bahwa semua orang harus memiliki peluang, hak, kesempatan dan representasi yang sama untuk berkembang dalam masyarakat tanpa dibatasi oleh jenis kelamin. Biology is not destiny.
Penting sekali untuk memahami benang merah terkait definisme feminisme ini. Dimana esensinya lebih mengarah pada keadilan sosial dan keseimbangan dalam struktur sosial, daripada persamaan dalam hal fisik atau biologis yang secara alami memang sudah ‘dirancang’ berbeda.
Sejarah dan Gelombang Feminisme
Feminisme memiliki sejarah panjang yang berkembang melalui 3 gelombang besar. Setiap gelombang gerakan ini memiliki fokus dan tantangan yang berbeda, tetapi tetap berpegang pada tujuan utama: mencapai kesetaraan gender. Berikut adalah uraian singkat tentang perjalanan feminisme dalam 3 gelombang utamanya.
Gelombang Pertama (First Wave): Perjuangan Hak Politik Dasar
Gelombang Pertama feminisme adalah periode awal dari gerakan feminisme yang secara garis besar terjadi pada abad ke-19 hingga awal abad ke-20. Fokus utama dari gelombang ini adalah perjuangan untuk mendapatkan hak politik dasar bagi perempuan, layaknya hak pilih (vote/suffrage).
Gelombang Pertama feminisme paling menonjol dan memiliki dampak paling besar di negara-negara Barat, terutama di Amerika Serikat dan Eropa Barat. Hal ini dikarenakan negara-negara Barat memang mengalami transformasi sosial dan politik yang signifikan di masa itu.
Gelombang Kedua (Second Wave): Kesetaraan Lebih Luas
Gelombang Kedua Feminisme terjadi di pertengahan abad ke-20 (sekitar tahun 1960-an hingga akhir 1980-an). Jika Gelombang Pertama lebih fokus pada hak pilih politik, Gelombang Kedua memperluas cakupan perjuangan menuju kesetaraan gender dalam berbagai aspek kehidupan lainnya.
Gelombang Kedua fokus pada kesetaraan di bidang layaknya pekerjaan, hak reproduksi atau hak aborsi, kekerasan dalam rumah tangga, dan kekerasan seksual. Gelombang Kedua juga menyadari bahwa ketidaksetaraan gender bukan hanya masalah hukum, tetapi juga masalah sosial, budaya, dan ekonomi yang tertanam dalam sistem patriarki.
Munculnya Gelombang Kedua membawa dampak yang besar, termasuk perubahan peran gender dalam keluarga (dengan perempuan lebih banyak bekerja dan laki-laki lebih terlibat dalam pengasuhan). Kemudian, ada juga reformasi hukum terkait hak-hak perempuan, seperti hak aborsi dan kesetaraan kerja.
Gelombang Ketiga: Interseksionalitas dan Dekonstruksi Gender
Gelombang Ketiga Feminisme muncul mulai sekitar 1990-an hingga saat ini. Meskipun telah mencapai banyak kemajuan, perjuangan untuk kesetaraan gender sayangnya masih harus berlanjut. Gelombang Ketiga fokus pada isu-isu seperti interseksualitas, dekonstruksi gender, dan representasi perempuan dalam budaya populer.
Ciri khas Gelombang Ketiga adalah pemahaman bagaimana identitas yang berbeda (seperti ras, kelas, dan orientasi seksual) berdampak pada pengalaman perempuan. Gelombang ini juga menantang konstruksi sosial tentang maskulinitas dan feminitas. Kemudian, Gelombang Ketiga pun mendorong perempuan untuk berbagi pengalaman kekerasan seksual dan memperjuangkan keadilan dengan gerakan #MeToo.
Aliran Feminisme
Feminisme, apapun alirannya, mengakui bahwa perempuan dan laki-laki memiliki hak yang sama dan setara. Namun, feminisme juga merupakan gerakan yang kompleks dengan berbagai aliran dan pendekatan yang berbeda-beda. Beberapa aliran utama dalam feminisme antara lain:
Feminisme Egaliter
Mengutamakan kesetaraan antara laki-laki dan perempuan dalam segala aspek kehidupan, tanpa terkecuali, dan tanpa mengacu pada perbedaan peran atau norma tradisional.
Feminisme Liberal
Fokus pada kesetaraan formal dan legal antara laki-laki dan perempuan, seperti hak pilih dan kesempatan yang sama dalam pendidikan dan pekerjaan.
Feminisme Radikal
Menekankan akar sistematis dari penindasan terhadap perempuan, seperti patriarki dan kapitalisme. Feminisme Radikal juga sering mengkritik institusi sosial seperti keluarga dan pernikahan.
Feminisme Marxis/Sosialis
Menggabungkan analisis kelas sosial dan gender, dengan argumen bahwa penindasan terhadap perempuan terkait erat dengan sistem kapitalisme.
Terdapat juga beberapa aliran lain yang menurut saya pribadi sangat menarik untuk dipahami dan dikaji lebih dalam:
Feminisme Eksistentialis
Aliran ini diperkenalkan oleh Simone de Beauvoir, salah satu penulis dan filsuf perempuan asal Prancis yang sangat saya kagumi. Feminisme Eksistentialis adalah aliran yang menekankan untuk melihat perempuan sebagai individu unik dengan kebebasan untuk menentukan nasib mereka sendiri, tanpa dibatasi oleh struktur sosial apapun.
Feminisme Maternal
Aliran ini juga menarik karena menempatkan peran perempuan sebagai ibu dan pengasuh sebagai pondasi utama dalam perjuangan kesetaraan gender. Aliran ini percaya bahwa dengan menekankan peran maternal, perempuan dapat memperoleh pengaruh yang lebih besar dalam masyarakat dan politik.
Stop Miskonsepsi dan Stereotip Negatif Feminisme
Feminisme bukan Misandri!
Feminisme sering disalahartikan sebagai misandri, yakni gerakan membenci laki-laki atau berusaha menyingkirkan peran mereka dalam masyarakat. Stereotip negatif ini tidak hanya muncul dari pemahaman yang keliru, tetapi juga diperburuk oleh propaganda media massa yang kerap menampilkan gambaran feminisme secara sepihak.
Banyak media yang menggambarkan feminisme dengan cara yang ekstrem, membuatnya terlihat merendahkan laki-laki atau menghilangkan nilai-nilai moral. Padahal, feminisme sesungguhnya jauh dari ajakan untuk memusuhi laki-laki, mempromosikan misandri, apalagi melucuti martabat perempuan.
Selain manipulasi narasi oleh media massa, salah satu alasan utama lain dari berkembangnya stereotip negatif adalah pandangan yang sempit terhadap feminisme, terutama yang hanya bersumber dari media sosial. Dalam banyak kasus, orang hanya melihat gambar ekstrem yang muncul di dunia maya, tanpa menyadari bahwa feminisme itu sangat dalam dan beragam.
Miskonsepsi Oleh Laki-laki dengan Maskulinitas Rapuh
Di sisi lain, fenomena “fragile masculinity“ atau maskulinitas rapuh juga turut memperburuk situasi. Ketika laki-laki merasa terancam oleh ide-ide kesetaraan atau merasa identitas maskulinitas mereka dipertanyakan, mereka cenderung akan menentang gerakan feminisme.
Dalam pengalaman pribadi, pun, saya sering melihat frasa dangkal yang menyuarakan “equal rights mean equal fights”. Saya juga pernah berhadapan dengan beberapa laki-laki yang menentang keras feminisme dengan alasan bahwa perempuan tidak akan pernah setara dengan laki-laki karena “laki-laki kuat secara fisik” atau “laki-laki tidak emosional”.
Menurut para laki-laki ini, feminisme adalah ancaman terhadap konsep maskulinitas yang sudah tertanam. Padahal, saya kerap menekankan bahwa inti dari feminisme bukanlah soal fisik atau perbedaan biologis. Sebab jika kita berbicara tentang perbedaan biologis dan fisiologis, memang ada hal-hal yang tidak bisa disamakan antara laki-laki dan perempuan.
Feminisme tidak berjuang untuk menyamakan kedua gender dalam segala aspek, terutama dalam hal fisik. Misalnya saja, apakah kamu yakin laki-laki bisa menahan rasa sakit saat menstruasi atau mengandung dan melahirkan anak? Tentu saja tidak, karena hal ini secara alamiah memang sudah dirancang hanya untuk ditahan oleh perempuan.
Selalu ada perbedaan alami yang tak terbantahkan dalam tubuh laki-laki dan perempuan. Namun, feminisme tidak menganggap perbedaan ini sebagai alasan untuk ketidaksetaraan. Again, biology is not destiny. Sebaliknya, feminisme fokus berjuang untuk memastikan bahwa setiap orang, apapun gendernya, memiliki kesempatan sosial yang sama untuk dihargai secara setara.
Feminism is for All: Sebarkan Kesadaran tentang Kesetaraan
Sampai sini, saya ingin menekankan lagi bahwa feminisme itu bukan tentang kebencian atau keinginan bahwa perempuan harus lebih unggul daripada laki-laki. Inti feminisme adalah menciptakan kesetaraan dalam konteks sosial, ekonomi, dan politik; di mana setiap orang punya hak yang sama tanpa harus terkekang oleh batasan-batasan yang tidak relevan. Maka dari itu, feminisme dapat didukung oleh semua orang, bukan hanya perempuan.
Laki-laki juga punya peran yang besar dalam mendukung feminisme. Ada satu kutipan yang saya sukai, “Men of quality do not fear equality”. Laki-laki yang punya integritas pasti paham bahwa mendukung feminisme tidak akan menghilangkan martabat mereka. Malah sebaliknya, keterbukaan ini menunjukkan bahwa mereka memiliki karakter dan maskulinitas yang kuat.
Menyebarkan kesadaran soal feminisme juga tidak perlu muluk-muluk. Kita dapat memulai dari langkah kecil, layaknya mendiskusikan isu dan topik terkait feminisme, menyebarkan info yang bermanfaat, atau mendukung gerakan kesetaraan yang sudah ada. Semakin kita paham, semakin kuat juga gerakan ini akan membuat dunia menjadi tempat yang lebih inklusif.
Mari kita teruskan perjalanan ini bersama. Ayo terus bergerak untuk belajar dan memicu perubahan. Sebarkan artikel ini, ajak orang lain diskusi, dan jadi bagian dari solusi. Jangan lupa juga, selalu belajar dan budayakan berpikir serta memahami. Kamu juga bisa eksplor artikel Filsastra lain dan perkaya pengetahuanmu terkait topik filsafat dan sastra. Keep reading, keep thinking, keep understanding!