The Prince Machiavelli, Satir atau Ilmu Politik?

<p>
  <img fetchpriority=

Ketika bicara soal strategi kekuasaan, nama Niccolò Machiavelli pasti muncul di pikiran kebanyakan orang akibat karya kontroversialnya The Prince. Bagi para mahasiswa ilmu politik, pemerintahan, dan hubungan internasional, The Prince Machiavelli rasanya hampir selalu muncul dalam daftar bacaan wajib, bukan? Bahkan saya pribadi sering menyebutnya sebagai “kitab acuan” dalam memahami teori politik realisme dan kekuasaan.

Saat pertama kali membaca The Prince versi asli (bahasa Tuscan/vernacular Italian) dan versi Bahasa Inggris, saya merasa intisari The Prince memang terkesan lumayan berat. What are the odds, considering I was just a naive college student? Buku ini memang ditulis ribuan tahun lalu dan diperuntukkan bagi pangeran (Prince) baru yang ingin memperoleh dan mempertahankan kekuasaan di era Renaissance Italia. 

Namun setelah semakin dalam memahami isinya, semakin jelas juga bahwa The Prince memang mampu menawarkan ‘pisau’ untuk mengupas kenyataan serta strategi politik dengan ketajaman yang tak selalu ditemukan dalam karya lain. Sejak diterbitkan, buku ini pun kerap menuai kritik karena dianggap membenarkan perilaku tidak bermoral dalam politik dan bentuk pembenaran untuk menghalalkan segala cara demi kekuasaan. 

Sounds tough, isn’t it? Apakah memang benar-benar begitu? Apakah Machiavelli memang mendukung kejahatan politik secara eksplisit atau ia justru hanya menggambarkan realitasnya saja? Jawaban atas pertanyaan ini adalah salah satu titik yang menarik dari The Prince; dan di sinilah letak relevansinya yang tak lekang oleh waktu. Let’s understand further.

Siapa Machiavelli? Pemikir di Balik The Prince

<p>
  <img decoding=

Niccolò Machiavelli lahir pada 3 Mei 1469 di Republik Florence (kini berada di Italia), berbagi tempat kelahiran dengan pemikir politik Italia terkenal lainnya, Dante Alighieri. Tak banyak catatan tentang masa muda Machiavelli, namun ia pastinya menjalani pendidikan klasik yang umum bagi kaum terpelajar saat itu— bahasa Latin, Yunani, serta filsafat. 

Kemudian, sejarah mencatat bahwa Machiavelli diangkat menjadi Kanselir Kedua Republik Florence pada tahun 1498. Posisi ini memberikan Machiavelli peran diplomatik yang sering terlibat di perjalanan melintasi Italia dan Prancis. Banyak peninggalan surat dan laporan Machiavelli dari masa ini yang masih ada, dimana isinya membicarakan keberadaan seorang pria dengan pemahaman tajam tentang politik dan cara berurusan dengan penguasa.

Dari posisi ini, Machiavelli kemudian mulai belajar bahwa politik tidak selalu tentang moralitas atau kebaikan, namun justru tentang bagaimana kekuasaan dipertahankan. Pada tahun 1512, keluarga Medici yang berpengaruh kembali merebut kekuasaan di Florence. Saat itu, Machiavelli dituduh berkonspirasi melawan Medici dan dipenjara hingga disiksa selama beberapa minggu. 

Setelah dibebaskan, Machiavelli memilih mengasingkan diri ke pedesaan dan mulai menulis. Dari sinilah lahir The Prince, karya politik yang ia tulis pada 1513. Awalnya, buku ini ditujukan untuk Giuliano de’ Medici dengan harapan memenangkan hati orang berpengaruh ini dan bisa kembali mendapatkan tempat di pemerintahan. Namun, lebih dari sekadar ‘surat lamaran kerja’, The Prince justru berubah menjadi salah satu buku politik paling berpengaruh dalam sejarah.

Lewat The Prince, Machiavelli menyampaikan ide utama yang cukup radikal: “the only real concern of the political ruler is the acquisition and maintenance of power”, yang berarti bahwa hal terpenting bagi seorang pemimpin adalah tetap berkuasa; tidak peduli dengan cara yang dianggap moral atau tidak. Sebab menurut Machiavelli, “to be feared is better than to be loved”, ditakuti lebih baik daripada dicintai.

Lantas, argumen bahwa politik lebih kepada efektivitas dibandingkan moralitas tersebut merupakan salah satu alasan utama mengapa The Prince karya Machiavelli sering sekali dikaitkan dengan kelicikan, intimidasi, dan manipulasi. Beberapa juga mengintepretasi bahwa The Prince mengajarkan bahwa “the end justifies the means”, yakni strategi menghalalkan segala cara selama tujuan akhir tercapai. We will talk about this further below.

The Prince Machiavelli: Mengapa Begitu Berpengaruh? 

<p>
  <img loading=

This is an immensely interesting discussion. Menurut saya, ada beberapa cara melihat dan memahami mengapa The Prince bisa menjadi begitu populer dan berpengaruh. Jujur, saya bahkan ‘kesulitan’ menjelaskan bagian ini (thanks to my burning excitement), tapi mari kita coba uraikan satu per satu.

The Prince dari Sisi Linguistik

Hal pertama yang harus dibahas adalah dari pilihan bahasa dan gaya penulisan The Prince. Ketika kebanyakan isi buku politik ditulis dalam Bahasa Latin (bahasa kaum intelektual) di saat itu, namun Machiavelli memilih menulis The Prince dalam Bahasa Tuscan (bahasa sehari-hari rakyat biasa Italia).

Di dalam The Prince, Machiavelli menggunakan bahasa Latin hanya untuk judul bab saja. Ditambah lagi, banyak sekali ambiguitas linguistik dalam karyanya ini. Jika tidak dibaca dengan saksama atau bahkan jika tidak diterjemahkan dengan saksama, dualitas yang cerdik dari buku ini sangat rentan untuk disalahpahami!

Misalnya di dalam beberapa kalimat, Machiavelli menggunakan “kamu” (voi) yang formal, dan dalam kalimat lain, ia menggunakan “kamu” (tu) yang informal. Dari beberapa sumber yang saya baca, banyak yang percaya bahwa Machiavelli berbicara kepada Prince (G. Medici) atau calon penguasa dengan voi dan menggunakan tu ketika ia berbicara kepada publik, orang-orang yang diperintah.

Nah, jika dilihat dari lensa filsafat analitik yang sering meneliti bagaimana bahasa membangun makna (how language constructs meaning), pemilihan bahasa pada The Prince rasanya juga dijadikan sebagai sarana persuasi. Seperti yang dikemukakan Wittgenstein melalui konsep language game, bahwa makna bahasa ditentukan oleh konteks penggunaannya. 

Selain itu, perbedaan penggunaan antara penggunaan voi (formal) untuk sang penguasa dan tu (informal) untuk rakyat yang telah kita bahas tadi juga menunjukkan bagaimana bahasa bisa membentuk hubungan kekuasaan, mirip dengan gagasan J.L. Austin bahwa kata-kata tidak hanya menyampaikan makna tetapi juga melakukan tindakan (speech acts).

The Prince Sebagai Realpolitik Tanpa Ilusi Moral

“While most science starts with Aristotle, practical political science starts with Machiavelli”

Ketika sebagian besar ilmu pengetahuan dimulai dengan Aristoteles, ilmu politik praktis dimulai dengan Machiavelli. Saya ingat akan pendapat ini ketika berdiskusi soal ilmu politik dengan teman saya di masa lalu. It could be true to some extent, menyadari bahwa The Prince adalah contoh pertama dari studi ilmiah tentang politik yang bersifat lebih praktis dibandingkan ideologis.

Sebelum Machiavelli, banyak tulisan tentang politik dan pemerintahan yang dianggap terlalu dibalut dengan idealisme. Miisalnya, buku-buku yang menyatakan bahwa penguasa yang baik harus selalu adil, bijaksana, dan dicintai rakyatnya. Namun, The Prince justru memisahkan politik dari etika tradisional seperti itu.dan mematahkan idealisme yang sering digaungkan.

The Prince kelak melahirkan istilah realpolitik; cara pandang dalam politik yang pragmatis dan berorientasi pada hasil nyata dibandingkan pada moralitas. Banyak penguasa di sepanjang sejarah peradaban yang terinspirasi oleh pendekatan ini. Bahkan, The Prince disebut-sebut sebagai bacaan utama beberapa tokoh kontroversial sejarah, termasuk Adolf Hitler, Joseph Stalin, dan Benito Mussolini.

Prinsip-Prinsip Machiavellian

<p>
  <img loading=

Sampai sini, tentu kita dapat memahami bahwa The Prince Machiavelli tidak menawarkan situasi politik idealis, tetapi politik apa adanya yang penuh intrik. Baginya, seorang penguasa tidak bisa hanya mengandalkan moralitas dan harus mampu memahami realitas kekuasaan. Ini tiga prinsip utama pemikiran Machiavelli yang masih sering jadi bahan perbincangan hingga hari ini:

Menghalalkan Segala Cara (The Ends Justify the Means)

Prinsip paling terkenal dari Machiavelli: apa pun yang dilakukan penguasa dianggap sah selama tujuannya tercapai. Jika suatu tindakan mampu menjaga stabilitas negara dan mempertahankan kekuasaan, maka tindakan itu perlu diambil tak peduli baik atau buruk.

Bagi Machiavelli, politik bukan soal benar atau salah, tetapi soal bertahan atau tumbang. Dalam dunia yang keras dan penuh ancaman, penguasa yang terlalu terikat oleh moralitas justru akan kalah oleh mereka yang lebih licik dan pragmatis.

Lebih Baik Ditakuti daripada Dicintai (Better to Be Feared Than to Be Loved)

“It is better to be feared than loved, if one cannot be both”, lebih baik bagi seorang penguasa untuk ditakuti daripada dicintai; jika tidak bisa mendapatkan keduanya. Pernyataan ini bukan berarti Machiavelli mengharuskan penguasa untuk menjadi seorang tiran yang kejam secara mutlak, tetapi ia tidak boleh bergantung pada rasa cinta rakyat semata.

Machiavelli percaya bahwa rasa suka atau cinta itu rapuh, dimana orang bisa berkhianat kapan saja jika kepentingan mereka berubah. Tapi rasa takut? Well, rasa takut jauh lebih stabil. Jika rakyat takut akan konsekuensi yang tegas, mereka tidak akan berani melawan. Namun, Machiavelli juga mengingatkan: penguasa harus menghindari kebencian. Ditakuti boleh, tetapi jika kebencian rakyat memuncak; maka kehancuran tinggal menunggu waktu.

Konsep Virtù dan Fortuna

Dua konsep penting yang sangat memikat perhatian saya di dalam The Prince adalah Virtù dan Fortuna. Akan menarik jika dibahas lebih dalam, namun singkatnya:

  • Virtù bukan sekadar “kebajikan”, tetapi lebih kepada kemampuan, kecerdasan, dan keberanian seorang penguasa dalam beradaptasi dan mengendalikan keadaan. Virtù adalah kualitas yang memungkinkan seorang penguasa untuk mengendalikan fortuna semaksimal mungkin.
  • Fortuna adalah “keberuntungan”, yakni hal-hal yang terjadi di luar kendali penguasa itu sendiri. Namun meskipun fortuna tidak bisa dikendalikan, seorang penguasa dengan virtù dapat mempersiapkan diri dan merespons perubahan yang dibawa oleh fortuna.

Bagi Machiavelli, kedua konsep ini saling tekait. Penguasa tidak boleh hanya menunggu keberuntungan atau menyalahkan keadaan, tetapi juga memiliki virtù (keberanian, karisma, taktik) untuk mengendalikan nasibnya sendiri. Machiavelli juga membandingkan fortuna dengan sungai liar: mereka yang cerdas akan membangun bendungan sebelum banjir datang. Fortis fortuna adiuvat.

Jadi, Apakah The Prince Satir atau Ilmu Politik?

Finally, we reach this point. Perdebatan terkait apakah The Prince Machiavelli merupakan satir atau panduan ilmu politik yang bersifat ‘sesungguhnya’ mulai muncul pada abad ke-19 dan 20. It intrigues me too. Beberapa ahli berpendapat bahwa The Prince terkesan ditulis dengan nada ironi sebagai kritik terhadap rezim otoriter. Ada juga yang percaya bahwa nasihat Machiavelli adalah sebuah strategi untuk melemahkan kekuasaan keluarga Medici.

Namun, pandangan yang lebih diterima secara luas hingga saat ini adalah: The Prince ditulis sebagai panduan nyata bagi para penguasa, termasuk dalam genre mirrors for princes; sebuah tradisi sastra yang bertujuan memberikan nasihat politik bagi para penguasa. Pandangan ini kemudian lebih menekankan bahwa karya ini merupakan hasil observasi Machiavelli atas situasi politik Italia pada abad ke-13 dan 14.

Seperti kutipan yang sudah saya sisipkan tadi: 

“While most science starts with Aristotle, practical political science starts with Machiavelli”

Machiavelli sendiri menyebut The Prince sebagai sebuah “pamflet” yang ditujukan kepada keluarga Medici dengan harapan bisa kembali mendapatkan kepercayaan keluarga Medici setelah kehilangan posisinya sebagai diplomat (seperti yang sudah kita bahas tadi). Namun ironisnya, tidak ada bukti bahwa Lorenzo pernah membaca karya tersebut.

Namun meskipun tidak pernah mendapatkan kembali posisinya, Machiavelli menikmati sisa waktu kehidupannya relatif jauh dari politik dengan menulis buku dan drama. The Prince sendiri baru diterbitkan lima tahun kemudian setelah kematiannya dan sempat dilarang oleh Gereja Katolik. Namun anehnya, popularitas The Prince justru melonjak karena buku ini mampu sampai ke Inggris dan bahkan memengaruhi Henry VIII terkait kepemimpinan yang efektif.

Hingga hari ini, The Prince pun tetap relevan dan sering dijadikan bahan bacaan wajib dalam studi ilmu politik dan kepemimpinan. Jadi, apakah The Prince adalah satir atau ilmu politik? Jawabannya jelas lebih condong pada keyakinan bahwa The Prince bukanlah sebuah satir; melainkan panduan realistis yang mengajarkan bahwa kekuasaan, moralitas, dan strategi sering kali berjalan di jalur yang berbeda.

Kalau kamu yang tertarik mendalami pemikiran filsafat politik atau ingin memahami lebih dalam hubungan antara etika dan kekuasaan, The Prince adalah bacaan yang harus kamu baca sampai habis. Karya ini bukan hanya tentang bagaimana kekuasaan diperoleh dan dipertahankan, tetapi juga tentang bagaimana kita (pembaca) merefleksikan moralitas dan realitas dalam kehidupan sehari-hari. Deeply interesting.

Seperti biasa, kamu juga bisa temukan lebih banyak refleksi tentang filsafat dan sastra di Filsastra langsung. Artikel Filsastra selalu berusaha menghubungkan ide, pemikiran, dan pertanyaan mendalam seputar kehidupan menjadi sebuah tulisan yang diharapkan untuk mudah dipahami. Terus pertahankan budaya berpikir kritis dan jangan pernah bosan mencari wawasan baru. Keep reading, thinking, understanding.

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Scroll to Top