Übermensch, Konsep Manusia Super dalam Filsafat Nietzsche


<p>
  <img fetchpriority=

Friedrich Nietzsche, the only man ever… Rasanya, saya bisa menyebut Nietzsche sebagai salah satu filsuf kontinental dengan pemikiran yang paling sukar dipahami. Saya juga sering melihat bahwa banyak yang sering salah paham dan mengkategorikan filsafat Nietzsche sebagai nihilisme (biasanya karena satu penggal pernyataan: “Tuhan telah mati” pada karyanya The Gay Science). Padahal, pandangan dan filsafat Nietzsche jauh lebih kompleks dari sekadar menjadi seorang nihilist.

Karya Nietzsche yang pertama kali saya coba baca tentunya adalah Thus Spoke Zarathustra, berawal dari rasa penasaran ketika dosen saya di semester awal bercerita tentang kisah tokoh Zoroaster. Ketika pertama kali membaca, harus diakui bahwa kepala serasa aktif mengeluarkan asap. Iya, pusing. It was a tough read. Saya belum mampu membaca full sampai akhir dan beralih ke karya Nietzsche yang terasa lebih ringan seperti Human, All Too Human.

Membaca Nietzsche berarti harus siap menghadapi kata-kata yang rumit, interpretatif, dan sederet konsep yang tidak mudah dicerna. Menurut saya, ciri khas dari Nietzsche adalah tulisannya selalu banyak simbolisme, alegori, aforisme, dan bahasa kompleks yang penuh dengan metafora. Kecenderungan gaya penulisan ini bisa membuat interpretasi terhadap makna yang terkandung dalam setiap bagian karyanya pun menjadi lebih menantang.

Kemungkinan besar kamu juga merasakan hal yang sama saat pertama kali berkenalan dengan pemikiran atau filsafat Nietzsche. Tapi, semakin didalami, semakin terasa bahwa karya-karya Nietzsche juga memiliki suatu ‘point’ yang menarik, intens, dan menggugah. Salah satu dasar utama dari filsafat Nietszche sendiri merupakan konsepnya yang bernama ‘Übermensch’, di mana ia menantang cara umum manusia memandang kehidupan dan eksistensi.

Jika kamu juga merasa tertantang dan ingin menggali lebih dalam pemikiran Nietzsche, simak artikel ini untuk mengetahui lebih jauh tentang konsep Übermensch dan bagaimana filsafat Nietzsche dapat memberi kita beberapa wawasan baru tentang kehidupan. Let’s understand further.

Apa Itu Übermensch? Dasar dari Filsafat Nietzsche

<p>
  <img decoding=

Konsep Übermensch adalah salah satu gagasan kunci dalam filsafat Friedrich Nietzsche. Nietzsche memperkenalkan Übermensch dalam karya besarnya Thus Spoke Zarathustra sebagai sebuah visi tentang manusia yang mampu melampaui batasan-batasan moralitas tradisional dan menciptakan nilai-nilai hidupnya sendiri. 

Übermensch adalah Bahasa Jerman untuk “Manusia Super” atau “Superman“. Namun, konsep yang dimaksudkan Nietzsche bukan merujuk pada kekuatan fisik yang superior layaknya superhero fiksi, ya… melainkan lebih kemampuan manusia untuk menantang nilai-nilai konvensional dalam masyarakat dan membangun kehidupan berdasarkan kehendak pribadi.

Übermensch Menolak Moralitas Tradisional

Salah satu ciri utama dari Übermensch adalah penolakan terhadap moralitas konvensional. Perlu dicatat bahwa Nietzsche merupakan kritikus keras terhadap ajaran dan pengaruh agama Kristen dalam kehidupan manusia. Maka dari itu, konsep Übermensch membenarkan pemberontakan nilai-nilai yang khususnya diajarkan oleh agama Kristen, layaknya kerendahan hati dan pengorbanan diri.

Nietzsche berargumen bahwa nilai-nilai ini seringkali mengekang potensi individu dan menghambat perkembangan manusia secara keseluruhan. Bagi Übermensch, kebebasan untuk menentukan nilai-nilai pribadi adalah langkah pertama menuju kehidupan yang lebih otentik dan penuh makna.

Übermensch Menciptakan Nilai-Nilai Baru Melalui “Will to Power

Übermensch adalah individu yang tidak hanya menolak mengikuti nilai-nilai yang telah ditentukan oleh masyarakat atau agama, tetapi juga menciptakan nilai-nilai mereka sendiri berdasarkan pengalaman dan keinginan mereka. 

Nietsche menggambarkan Ubermensch untuk harus memiliki sebuah bentuk “kehendak untuk berkuasa” atau Will to Power. Konsep Will to Power sendiri merupakan sebuah dorongan fundamental dalam diri manusia untuk mencapai kekuatan, dominasi, dan pencapaian potensi penuh dalam hidup (baik politik, sosial, atau juga dorongan internal yang mendorong individu untuk berkembang, mengatasi tantangan, dan mengaktualisasikan diri).

Übermensch dalam Kehidupan

Übermensch menggambarkan individu yang sepenuhnya menerima dan mengaffirmasi segala aspek kehidupan, termasuk tantangan, kesulitan, bahkan penderitaan yang tak bisa kita hindari. Konsep ini menggaungkan bahwa seseorang sebaiknya tidak melarikan diri dari kesulitan hidup, tetapi justru melihat penderitaan sebagai bagian yang tak terpisahkan dari pengalaman manusia yang bermakna.

Nietzsche berpendapat bahwa untuk mencapai status Übermensch, seseorang harus mampu merangkul hidup dalam seluruh keberagaman dan intensitasnya. Hal ini berarti Übermensch bukan sekadar mengejar kebahagiaan atau kesuksesan, tetapi juga keberanian untuk menghadapi kegagalan, rasa sakit, dan penderitaan dalam hidup. Amor Fati; terima dan cintai takdirmu.

Konsep Übermensch dan Eksistentialisme

<p>
  <img loading=

Terdapat hubungan yang kuat antara konsep Übermensch Nietzsche dan aliran filsafat eksistensialisme. Keduanya menolak adanya makna atau tujuan yang sudah ditentukan sebelumnya dalam hidup. Para pemikir eksistensialis seperti Jean-Paul Sartre dan Albert Camus menekankan bahwa individu lahir dalam dunia yang absurd tanpa makna yang inheren. Demikian pula, Übermensch menolak kerangka moral dan agama tradisional yang memberikan makna dari hal-hal eksternal.

Kebebasan dan Tanggung Jawab Individu

Eksistensialisme sangat menekankan kebebasan dan tanggung jawab individu. Menurutlensa eksistentialisme, setiap orang memiliki kebebasan untuk menciptakan maknanya sendiri dan bertanggung jawab atas pilihan dan tindakannya. 

Konsep Übermensch juga mendukung kebebasan ini dengan mendorong penciptaan nilai-nilai mereka sendiri dan mengatasi segala keterbatasan yang ada. Keberadaan Übermensch tidak bergantung pada nilai-nilai tradisional yang diwariskan oleh masyarakat, tetapi mereka justru jadi penentu bagi hidup mereka sendiri.

Menerima Absurditas Hidup

Konsep Übermensch menunjukkan penerimaan terhadap absurditas hidup, yang tentunya merupakan pokok ajaran dalam eksistensialisme. Baik dalam konsep Übermensch maupun pemikiran eksistensialisme, absurditas tidak dilihat sebagai penghalang kehidupan, melainkan tantangan yang membuka jalan bagi penciptaan makna baru dan penemuan diri yang sejati. Kedua pendekatan ini menekankan bahwa di tengah kekacauan hidup, individu tetap memiliki kuasa untuk menentukan jalan hidup mereka sendiri.

Mendorong Penciptaan Diri

Baik Übermensch maupun eksistensialisme juga menekankan pentingnya penciptaan diri atau self-making / self-defining beings. Eksistensialis percaya bahwa individu senantiasa dalam proses menjadi “being..” dan membentuk identitas mereka melalui pilihan dan tindakan. Übermensch pun menyetujui dasar pemikiran yang sama, dengan terus-menerus berusaha melampaui dirinya sendiri dan menciptakan nilai-nilai baru yang mencerminkan kehendak dan tujuan hidup pribadi.

Melalui Übermensch, Apakah Nietzsche Eksistentialis?

<p>
  <img loading=

Pertanyaan apakah Nietzsche seorang eksistensialis sebenarnya masih kerap menjadi perdebatan di kalangan filsuf, akademisi, hingga para pembaca hingga sekarang. Bagaimana tidak? Nietzsche sendiri hidup sebelum aliran eksistensialisme berkembang penuh. Namun, banyak sekali gagasan yang dikembangkan Nietzsche rasanya berkaitan erat dengan tema-tema eksistensialis— terutama konsep Übermensch yang barusan kita bahas.

Menurut saya sendiri, jika eksistensialis berarti menekankan kebebasan individu, tanggung jawab pribadi, dan pencarian makna dalam kehidupan, maka Nietzsche tentu lebih bisa dikategorikan sebagai eksistensialis dibandingkan nihilis. Justru, Nietzsche terkesan seperti pemikir yang melampaui nihilisme dan membuka jalan menuju eksistensialisme. 

Ide Nietzsche tentang “Tuhan telah mati” atau “God is Dead” bukanlah pembuktian ia seorang nihilis, namun justru menunjukkan transisi situasi di mana manusia harus menemukan atau menciptakan makna tanpa fondasi ilahi (di era Nietzsche saat itu, terdapat fenomena pemisahan gereja dan negara di seluruh Eropa, dimana hal ini membuat Nietzsche mencatat bahwa agama Kristen tidak memiliki otoritas atau legitimasi seperti dulu. Maka, kematian Tuhan adalah metafora).

Pemikiran-pemikiran Nietzsche juga pada dasarnya menolak menyerah pada kehampaan hidup dan justru mendorong individu untuk menemukan kekuatan serta makna dalam hidup mereka sendiri. Para eksistensialis juga menghadapi krisis makna ini dengan cara yang mirip, bukan? Meskipun pendekatannya bisa terkesan sedikit berbeda. Misalnya saja terkait konsep Will to Power.

Nietzsche gencar menekankan konsep Will to Power (kehendak berkuasa) sebagai dorongan utama manusia untuk menjadi seorang Übermensch. Konsep ini sedikit berbeda dengan beberapa eksistensialis yang lebih fokus pada konsep-konsep seperti kegelisahan, kesepian, dan pencarian makna dalam penderitaan. Seperti Sartre, ia lebih menekankan kebebasan radikal individu tanpa menghubungkannya secara langsung dengan dorongan untuk berkuasa.

Namun, secara keseluruhan, saya tetap percaya diri untuk menyebutkan bahwa Nietzsche memiliki pengaruh cukup signifikan terhadap eksistensialisme. Melalui Übermensch, Nietzsche menolak gagasan bahwa makna hidup manusia sudah ditentukan sejak awal. Nietzsche juga menekankan kebebasan seseorang untuk menentukan makna hidupnya sendiri, terutama setelah nilai-nilai tradisional seperti agama tidak lagi menjadi pegangan utama. What is this, if not existentialism? I have to emphasize it again.

Pada dasarnya, pemikiran Nietzsche pun bisa menjadi inspirasi bagi banyak dari kita untuk menolak kepasrahan, berhenti mengikuti standar konservatif, dan menemukan kekuatan atau kebebasan sendiri untuk menentukan jalan hidup otentik. Konsep Übermensch bukan hanya menjadi cerminan dari filsafat yang kompleks, tetapi juga sebuah acuan untuk terus berkembang dan melampaui batasan-batasan dalam diri.

Tapi! Perlu dipahami juga bahwa konsep Übermensch milik Nietzsche juga sering dan rentan untuk disalahpahami (seperti yang dilakukan Nazi Jerman dengan tragis, misalnya..). Übermensch bukan tentang menjadi atau menciptakan satu ras manusia unggul, bukan juga tentang mengalahkan atau menindas orang lain, tetapi lebih tentang proses mengatasi dan membebaskan diri dari diri sendiri.

Seperti kata Zarathustra:

You have your way, I have my way. As for the right way, the correct way, the only way, it does not exist.

Kamu punya jalanmu, aku punya jalanku. Adapun jalan yang benar, jalan yang lurus, jalan satu-satunya- itu tidak ada. Singkatnya, yang dimaksud Zarathustra adalah tidak ada tujuan atau kebaikan tunggal yang berlaku bagi semua orang. 

Bagi saya, konsep Übermensch lebih baik dianggap seperti ‘proyek’ yang bersifat sangat pribadi saja. Sebuah ‘proyek’ di mana kita bisa menentukan dan menguatkan nilai-nilai pribadi diri sendiri serta membentuk dorongan dalam diri kita menjadi sesuatu yang utuh dan autentik, tentunya dengan mengingat bahwa konsep Übermensch bukanlah solusi one-size-fits-all.

Rumit… bukan? Tapi menarik. Kalau kamu yang ingin menggali lebih dalam pemikiran Nietzsche atau memperluas wawasan tentang filsafat atau sastra, kamu bisa langsung kunjungi Filsastra langsung dan eksplor konten di dalamnya. Kamu bisa menemukan berbagai artikel informatif, reflektif, juga rekomendasi bacaan yang akan memperkaya ilmu dan membantu dalam memahami makna hidup dengan lebih baik. As always: keep reading, learning, and understanding!

Author

  • Zara

    A lifelong learner of philosophy, literature, and the humanities.

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Scroll to Top