White Nights Dostoevsky: Singkat, Bermakna, dan Tragis

<p>
  <img fetchpriority=
Ilustrasi bagian kiri oleh © Lara Kalevras

“May your sky always be clear,
May your dear smile always be bright and happy,
and may you be forever blessed for that moment of bliss and happiness which you gave to another lonely heart.
My God, a moment of bliss. Why, isn’t that enough for a whole lifetime?”

Semoga langitmu selalu cerah, 

Semoga senyum indahmu selalu bersinar bahagia, 

dan semoga kamu selamanya diberkahi karena momen kebahagiaan dan kegembiraan yang telah kamu berikan kepada hati lain yang kesepian. 

Ya Tuhan, sebuah momen kebahagiaan. Mengapa, tidakkah momen ini cukup untuk seumur hidup?


“In the end, you feel that your much-vaunted, inexhaustible fantasy is growing tired, debilitated, exhausted, because you’re bound to grow out of your old ideals; they’re smashed to splinters and turn to dust, and if you have no other life, you have no choice but to keep rebuilding your dreams from the splinters and dust. But the heart longs for something different! 

And it is vain to dig in the ashes of your old fancies, trying to find even a tiny spark to fan into a new flame that will warm the chilled heart and bring back to life everything that can send the blood rushing wildly through the body, fill the eyes with tears–everything that can delude you so well!”

Pada akhirnya, kamu merasa bahwa fantasi yang dulu kamu banggakan mulai melemah dan kehilangan daya. Seiring waktu, kamu akan meninggalkan ideal-ideal lamamu; semuanya kemudian hancur berkeping-keping dan menjadi debu. Dan kalau kamu tidak punya cara lain, kamu hanya bisa terus mencoba membangun mimpi-mimpi baru dari sisa-sisa itu. Tapi hati sebenarnya menginginkan sesuatu yang berbeda! 

Percuma mencari percikan kecil di antara abu khayalan lama, berharap bisa menyalakan api baru yang mampu menghangatkan hati yang dingin. Segalanya terasa mustahil untuk membangkitkan kembali semangat yang dulu membuatmu hidup penuh gairah, mengalirkan air mata kebahagiaan, dan membuatmu percaya pada mimpi-mimpi itu lagi.



Bagian ini adalah beberapa bagian yang sangat saya sukai dari White Nights. Entah karena gaya penulisan Dostoevsky yang memang sangat khas dan kompleks sehingga begitu membekas di benak saya, atau karena saya merasa relate dengan bagian tersebut secara personal. Namun pastinya, saya sangat terkesan dengan novella pendek karya Fyodor Dostoevsky yang satu ini. Mari kita bahas.

Sinopsis White Nights Dostoevsky

<p>
  <img decoding=
Ilustrasi oleh © Ilya Glazunov

Fyodor Dostoevsky, lahir pada tahun 1821, merupakan penulis atau novelis Rusia yang dianggap kontroversial dan berpengaruh. Tulisan dan karya Dostoevsky dikenal kompleks dalam membedah tema moralitas, manusia, dan emosi dengan cara yang sangat menarik. Dostoevsky merupakan sosok di balik karya sastra Rusia terkenal seperti Crime and Punishment dan The Brothers Karamazov

Selain dua cerita tersebut, salah satu karya sastra Rusia klasik yang melekat pada nama Fyodor Dostoevsky adalah White Nights atau ‘Malam Putih’ dalam bahasa Indonesia. White Nights sendiri pertama kali diterbitkan pada tahun 1848 sebagai sebuah cerita pendek yang memperlihatkan sisi romantis dan melankolis dari sang penulis. 

White Nights dikenal sebagai salah satu karya Dostoevsky yang paling puitis dan menyentuh hati, menjadikannya favorit bagi banyak pembaca yang baru saja ingin mengenal Dostoevsky (termasuk saya sendiri- Notes from Underground dan White Nights adalah dua tulisan Dostoevsky yang pertama kali saya baca).

Judul White Nights atau Malam Putih yang dipilih oleh Dostoevsky pun sangat relevan dengan tema cerita. Bagaimana tidak, White Nights juga merupakan fenomena alam di Saint Petersburg (tempat cerita berlangsung) di mana matahari hampir tidak terbenam sehingga langit tetap terang bahkan pada tengah malam. Keadaan ini menciptakan suasana di mana batas antara siang dan malam menjadi kabur.

Namun, saya juga menginterpretasi judul ini juga sebagai simbolisme dari harapan. White Nights atau Malam Putih rasanya dapat dikaitkan dengan harapan untuk kemungkinan baru atau untuk sepercik kebahagiaan. Cahaya yang terus menyinari kota seolah menjadi simbol harapan akan perubahan dan masa depan yang cerah. Tetapi, ya.. tidak semua akhir terjadi seperti yang kita harapkan.

Sinopsis Singkat

White Nights karya Dostoevsky mengisahkan seorang pria muda kesepian yang hidup di kota St. Petersburg. Pria yang kita panggil saja ‘narator’ ini tak disebutkan namanya, namun ia diceritakan untuk menjalani hidup yang penuh isolasi, rasa kesepian, namun juga memiliki sepercik harapan bahwa hidupnya mungkin akan terasa sedikit lebih bermakna.

Suatu malam, ia pun bertemu dengan seorang wanita bernama Nastenka. Dalam lima malam putih yang dipenuhi dengan koneksi dan chemistry yang kuat, mereka berdua berbagi cerita tentang kehidupan, harapan, dan cinta. Namun, layaknya fenomena ‘malam putih’ yang hanya sementara, kisah mereka juga tak berlangsung lama- justru berakhir dipenuhi nuansa tragis yang ironis di hati.

Eksplorasi White Nights: Kesepian, Harapan, Kekecewaan

<p>
  <img loading=
Ilustrasi oleh © Ilya Glazunov

Dalam awal cerita White Nights, narator digambarkan sebagai tokoh yang tenggelam dalam kesepian dan dunia fantasinya sendiri. Namun, hidupnya terasa berubah ketika ia bertemu dengan Nastenka secara tak terduga. Ketika bertemu, keduanya langsung menumbuhkan ikatan yang kuat karena memiliki banyak kesamaan. 

Selama lima malam putih berturut-turut, narator dan Nastenka berbagi kisah hidup mereka. Narator membuka dirinya; mengungkapkan impian, kesedihan, dan harapan yang selama ini ia pendam sendiri. Sedangkan bagi Nastenka, narator merupakan telinga yang mendengarkan, teman yang ia butuhkan saat ia menghadapi dilema di hatinya. 

Nastenka lantas menjadi sosok yang membuat narator akhirnya dapat merasakan bahwa hidup ternyata dapat terasa bermakna. Ia yang selalu merasa kesepian dan terasing mulai melihat Natsenka sebagai sosok yang dapat mengisi kekosongan dalam hidupnya. Narator pun jatuh cinta dan berharap bisa menjalin hubungan yang lebih dalam. Banyaknya kesamaan antara dirinya dan Natsenka membuat narator menginginkan sebuah koneksi yang lebih berarti.

Namun semakin mereka dekat dan mengetahui satu sama lain, semakin narator menyadari bahwa perasaannya kepada Nastenka tak mungkin dapat terbalaskan. Sebab, Natsenka masih memiliki perasaan kepada kekasih lamanya dan tidak akan bisa membalas cinta narator. Perbedaan harapan dengan kenyataan pun mulai menjadi konflik batin bagi sang narator.

Your hand is cold, mine burns like fire. How blind you are, Nastenka!” ini adalah salah satu kutipan yang dengan jelas menunjukkan perbedaan antara harapan narator dan kenyataan yang dihadapinya. Juga pernyataan yang menggambarkan betapa besar perasaannya kepada Nastenka, meskipun perasaan itu tidak benar-benar terbalaskan.

“As I sit here next to you, it is already painful to think of the future, because there’s nothing in it but a lonely, stale, useless existence,” ucap narator di bagian lainnya, menggambarkan bagaimana ia melihat masa depannya bersama Natsenka yang kelam dan penuh kekosongan.

Harapan yang tidak sesuai dengan kenyataan memang menjadi salah satu inti penting dalam cerita White Nights. Permasalahan ini menunjukkan betapa menyakitkannya cinta yang tidak berbalas dan bagaimana harapan yang terlalu tinggi dapat membawa kekecewaan yang mendalam. Narator juga menggambarkan bahwa dirinya hanyalah seorang idealis, seorang pemimpi yang memandang dunia melalui lensa fantasi. Berikut beberapa kalimat narator yang saya menunjukkan hal tersebut:

“I am a dreamer. I know so little about real life that I just can’t help but re-living such moments as these in my dreams, for such moments are something I have very rarely experienced. I am going to dream about you the whole night, the whole week, the whole year.”

“One deceives oneself and unconsciously believes that real true passion is stirring one’s soul; one unconsciously believes that there is something living, tangible in one’s immaterial dreams! And is it delusion?”

“Oh, Nastenka! You know it will be sad to be left alone, utterly alone, and to have not even anything to regret — nothing, absolutely nothing..  for all that you have lost, all that, all was nothing, stupid, simple nullity, there has been nothing but dreams!”

“I create entire romances in my dreams.”

Pelajaran dari White Nights Dostoevsky

<p>
  <img loading=
Ilustrasi oleh © Ilya Glazunov

Ya… salah satu tema utama dalam White Nights adalah perbedaan antara persepsi ideal kita tentang dunia dan kenyataan yang sering kali jauh lebih keras. Narator memandang Nastenka dengan harapan dan impian besar, membayangkan kemungkinan terbentuknya hubungan yang ‘meaningful’ atau bermakna di masa depan. 

Namun, kenyataannya justru berbeda: Nastenka sudah bertunangan dengan pria lain dan kisah mereka tidak akan terwujud sebagaimana narator bayangkan. Hal ini menggambarkan bagaimana seringkali kita membangun ilusi tentang sesuatu atau seseorang yang tidak sepenuhnya sesuai dengan kenyataan dan bagaimana perbedaan itu dapat menimbulkan kekecewaan yang mendalam.

Menurut saya, White Nights benar-benar menggambarkan dilema manusia (terutama para pemimpi atau hopeless romantic) yang sering kali berharap lebih dari kenyataan. Kisah White Nights adalah contoh bagaimana harapan dapat membawa kehangatan sementara tetapi juga meninggalkan luka yang dalam. Meskipun narator pada akhirnya kembali pada kesendiriannya, pengalaman singkat bersama Nastenka mengajarkannya sesuatu yang tak ternilai padanya: betapa bermaknanya cinta dapat terasa, meskipun hanya untuk sesaat.

Dalam White Nights, Dostoevsky juga terkesan menyentuh tema-tema eksistensial yang sering kali kita hadapi dalam hidup, layaknya  kesepian, keterasingan, pencarian makna, dan lain-lain. Melalui pengalaman narator, Dostoevsky rasanya mengajak pembaca untuk merenung tentang bagaimana kita menghadapi kebebasan dan kerapuhan dalam hidup, serta bagaimana kita harus berhadapan dengan absurditas hidup itu sendiri.

Dari sinar harapan hingga abu kekecewaan, menurut saya, White Nights adalah potret halus tentang pergulatan batin manusia dalam kesepian dan keinginan meraskan hidup yang lebih bermakna. Kisah ini juga menunjukkan bahwa kehidupan seringkali lebih kompleks daripada sekadar harapan dan fantasi. Namun dalam momen sekecil apapun, kita juga perlu sadar bahwa hidup bukan hanya tentang hasil akhir tetapi juga tentang proses atau perjalanan.

To live is to suffer, to love is to suffer, and to survive is to find some meaning in the suffering.

Hidup sebagai manusia itu sendiri selalu membawa penderitaan karena kita diharuskan menghadapi berbagai tantangan, kehilangan, rasa sakit, dan ketidakpastian. Sama halnya dengan cinta yang dapat membawa kebahagiaan sekaligus risiko penderitaan, kehilangan, dan kekecewaan karena kita telah terikat pada seseorang secara emosional.

Namun, setidaknya yang bisa kita lakukan adalah menemukan makna dalam setiap pengalaman dan setiap penderitaan yang kita alami. Setiap hal dalam hidup ini selalu memiliki aspek dualitas: kebahagiaan dan penderitaan. Apapun yang menjadi akhir di cerita kita, tanggungjawab kita sepenuhnya adalah memaknai dan menyesuaikan cara kita menghadapinya.

Khusus mengutip Dostoevsky pada perihal cinta lagi, “To love is to suffer and there can be no love otherwise”. Mencintai berarti menderita dan tidak akan ada cinta selain itu. Bagi kamu yang ingin mendalami karya Dostoevsky lebih jauh, jangan ragu untuk mengeksplorasi bacaan lain yang menginspirasi dari penulis ini. Selain itu, kamu juga temukan ulasan buku, rekomendasi bacaan, dan artikel reflektif/informatif terkait filsafat dan sastra lainnya di Filsastra.

Keep reading, thinking, and understanding.

Author

  • Zara

    A lifelong learner of philosophy, literature, and the humanities.

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Scroll to Top